Rabu, 16 Februari 2011

PSS, Tridadi dan Maguwoharjo




Stadion Maguwoharjo dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai alternatif pengganti Stadion Tridadi yang merupakan homebase PSS Sleman dalam beberapa musim kompetisi. Animo masyarakat Sleman yang besar, terutama slemania, dalam mendukung PSS setiap kali berlaga di kandang membuat kapasitas di Stadion Tridadi sudah tidak mampu menampung penonton.
Dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2006 dibangunlah sebuah stadion yang memiliki standar internasional. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan ketidaklayaan stadion Tridadi untuk menjamu tim-tim besar Liga Indonesia.











Stadion yang dibangun di Desa Maguwoharjo ini resmi bisa digunakan sebagai kandang PSS Sleman dalam mengikuti kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia 2007. Dengan memiliki daya tampung hingga 35.000 penonton membuat stadion Maguwoharjo mampu menampung seluruh penonton yang menyaksikan tim kesayangan mereka, PSS Sleman saat bertanding, bahkan juga bisa menampung hingga 10.000 suporter tamu yang datang.
Stadion yang memiliki nama resmi Maguwoharjo International Stadium (MIS) ini dianggap sebagai salah satu stadion terbaik di Indonesia selain Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta, Stadion Jakabaring di Palembang, dan Stadion Jalak Harupat di Kabupaten Bandung. Bahkan, Stadion Maguwoharjo pernah digunakan oleh tim nasional Indonesia dalam melakukan pertandingan ujicoba.

Keluarga Sayidan, sebuah catatan perjalanan mengikuti ShaggyDog selama beberapa hari

Tidak banyak band yang bisa menjadi merchandise city. Sebuah proses yang lama untuk menjadi band sekelas The Beatles. Begitu mendarat di lapangan terbang Liverpool kita sudah disajikan nama John Lennon yang tertulis dengan sangat besar di luar gedung bandara. Strawberry Field menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi para peziarah kota itu. The Beatles telah berhasil mengangkat Liverpool menjadi kota yang wajib dikunjungi para pecinta musik di seluruh dunia.

Memang tidak ada nama Heru, Raymond, Richard, Yoyok, Lilik, dan Banditz di airport atau dimana pun di tempat umum. Tapi mungkin bagi para penjual lapen di daerah Sayidan mereka adalah pahlawan dari Jogjakarta. Semenjak lagu Sayidan milik Shaggydog menjadi terkenal, penjualan Lapen di Sayidan naik pesat. Demikian pula bagi masyarakat yang tinggal di daerah Sosrowijayan, Malioboro, tempat mereka selalu menghabiskan weekend, bernyanyi dari satu pub ke pub lain tanpa minta bayaran. Setiap jumat apabila tidak ada jadwal manggung, para doggies selalu menunggunya di jalan ini. Dan mereka menamakannya 'kampung internasional' . Hidup santai, nerimo, penuh canda tawa khas Jogja, sambil menikmati "minum" adalah "budaya" The Dawgz, jelas Heru-vokalis Shaggydog. Kehadiran mereka menjadi hiburan tersendiri bagi para doggies di Sosrowijayan.

Pada hari itu saya hendak meninggalkan kota Jogjakarta. Sudah dua hari saya menghabiskan berbotol-botol bir dingin sambil mengikuti Shaggydog konser di dua tempat yang berbeda. “Bro saya punya beberapa botol bir dan Red Labels. Aku ulang tahun bro..” SMS Heru masuk ke GSM saya. Tak lama SMS dari Memet manager Shaggydog dan Lilik pemain keyboardnya menyusul masuk. Saya pun kembali lagi ke pusat kota Jogja, persis di sebelah barat alun-alun. Di Doggie House, api mengepul membakar beberapa ikan laut dan kentang. Hari itu mereka “melolong” sambil bertelanjang dada. Dan saya pun berbicara banyak hal, semenjak mereka masih kuat berdiri tegak hingga terkapar lemas karena .. ah sudahlah, anda tahu sendiri :)

Hidup Shaggydog dimulai 12 tahun yang lalu ketika anak-anak Sayidan ini berniat untuk merubah sebuah judul film menjadi salah satu nama band ska papan atas Indonesia. Raymond dan Heru yang satu sekolah mengajak Richard yang merupakan kakak kelas mereka di SMA. Lilik dan Bandizt adalah original sayidan crew yang tidak sulit untuk diajak membangun sebuah Band bernama Shaggy Dog. Yoyok menjadi personel terakhir yang masuk, setelah keluar dari band death metal lawas Jogja, Brutal Corpse. Lapen dan Sayidan telah menggabungkan mimpi mereka untuk terus bermain musik. Dari music punk, kemudian ska, Heru, Richard, Lilik, Raymond, Bandizt, dan Yoyok bermetamoforsa hingga menjadi sebuah band crossover style papan atas Indonesia.
Lama-kelamaan nama Shaggydog mulai dikenal masyarakat Jogja. Mereka menamakan fans nya dengan nama Doggies. Ketika pertama kali mengeluarkan album dengan menggunakan label EMI, handphone Memet banyak menampung cacian dari para doggies. Aku sadar bahwa beberapa orang tidak rela kalo band ini ikut dinikmati banyak orang. Ekslusifitas!, ujar Heru. Tapi bagaimana pun mereka tetap saja membutuhkan dana untuk membayar tagihan telepon, cicilan motor, dll. Mereka terus menyebarkan musik mereka sambil mendapatkan doggies-doggies baru di luar kota Jogja. Cita-citanya kini ingin mendapatkan "sepundi berlian sekaligus kepuasan jiwa" dengan album baru mereka. Album baru dengan rasa komplit, seperti sepiring nasi gila bakal mereka suguhkan di tahun ini, mulai dari swing, ska, jazz, akustik, rock, pop, reggae ,dub , elektronik, termasak dengan pas di tangan-tangan yang handal. “Ibarat petani, kami harus terus mempertajam cangkul, kamu harus bertanggung jawab dan berdedikasi untuk sesuatu yang telah membesarkan kamu, work hard party hard.” tambah Heru.

Fans mereka kini berasal dari berbagai kalangan. Orang-orang jalanan, preman, anak punk, skinhead, anak reggae, dan bos-bos, lengkap sudah menjadi doggies-doggies setia. Banyak juga yang berasal dari luar Indonesia.